KULIAH UMUM STP REINHA: IDENTITAS STP REINHA DAN MODERASI BERAGAMA BERBASIS BUDAYA LAMAHOLOT

“Untuk menjamin keberadaannya yang terus bergerak maju, STP sebagai lembaga pendidikan keagamaan serentak sebagai bagian dari masyarakat sipil membutuhkan pilar-dasar. Salah satunya adalah moderasi beragama”, demikian tegas Anselmus D. Atasoge ketika memberikan kuliah umum di Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka, Senin, 16 Agustus 2021.
Kuliah umum yang bertemakan “Penguatan Identitas STP Reinha sebagai Masyarakat Sipil dalam Konteks Moderasi Beragama Berbasis Budaya Lamaholot” digelar oleh Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik STP Reinha Larantuka dalam dua model yakni daring dan luring. Sekitar empatpuluhan mahasiswa mengikutinya secara langsung di Aula STP Reinha sementara tujuhpuluhan mahasiswa mengikutinya melalui saluran zoom.
Menurut Anselmus, ada tiga model moderasi beragama di Indonesia. Pertama, moderasi pemikiran yakni kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks. Di sini, pemikiran keagamaan yang tidak semata-¬mata bertumpu pada teks-teks keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan konteks baru pada teks, tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis, sehingga pemikiran keagamaan seorang yang moderat tidak semata tekstual, akan tetapi pada saat yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks.
Kedua, moderasi gerakan. Moderasi pada tingkatan ini mengandung arti mengajak pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemunkaran yang didasarkan pada ajakan yang dilandasi dengan prinsip melakukan kebaikan, dan dengan cara yang baik pula, bukan sebaliknya, mencegah kemunkaran dengan cara melakukan kemunkaran baru berupa kekerasan.
Ketiga, moderasi perbuatan yang berkaitan erat dengan tradisi dan praktik keagamaan. Artinya, dibutuhkan penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat. Kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya, keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan kebudayaan baru.
Dalam konteks yang lebih spesifik, Anselmus Atasoge mengajak segenap civitas akademika STP Reinha Larantuka untuk menggali nilai-nilai budaya Lamaholot sebagai penguatan kelembagaan dalam rangka membangun sikap moderasi beragama. Baginya, prinsip-prinsip budaya Lamaholot seperti puin taan tou-gahan taan ehan dan prinsip gelekat juga dapat menjadi spirit dalam rangka penguatan kapasitas STP Reinha sebagai lembaga pendidikan yang hadir sebagai salah satu bentuk masyarakat sipil di Flores Timur.
Untuk mencapai hal tersebut, Anselmus menganjurkan dua sikap penting yang harus dihidupkan di tengah civitas akademika STP Reinha yakni inclusion of the others yang berarti ‘bersedia untuk mengikut-sertakan yang lain” di dalam keunikannya’ dan sikap “Ren” yakni sebuah sikap simpatik yang didasari pada kesadaran bahwa semua orang di sekeliling kita juga mempunyai keinginan yang sama untuk mendapatkan hak-hak yang sama, sama seperti diri kita menginginkan hak kita untuk dipenuhi. (Wis Riberu).