[Secangkir Kopi Susu pada Meja Wisuda Sarjana STP Reinha Larantuka Perspektif Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman]
Anselmus D. Atasoge
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jumad (07/10/2022) akan tercatat sebagai sebuah peristiwa bermakna bagi Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka Flores Timur. Pada hari ini, lembaga pendidikan tinggi keagamaan ini mewisuda 52 mahasiswanya sebagai agen pastoral, guru agama Katolik, ‘pekerja-pekerja pastoral’ ke seantero bumi terkhusus di wilayah Gereja Keuskupan Larantuka. Peristiwa ini dikemas panitia dengan nada dasar “Manajemen Kurikulum Merdeka Belajar Berbasis Ensiklik Laudato Si”.
Mengangkat Laudato Si untuk membingkai sebuah momen wisuda sarjana membahasakan sebuah pesan yang mendalam. Pembingkaian ini seakan menuntut para sarjana ilmu keagamaan untuk bergerak ke pinggiran jalan lain untuk menjumpai dunia lain, perspektif lain atau ilmu-ilmu lain dan berkolaborasi bersamanya untuk mengembangkan isi-isi keilmuannya hingga melahirkan temuan-temuan inovatif yang menyumbang bagi keberlanjutan keadaban alam semesta. Ada semacam tuntutan untuk saling interkonektif-integratif dunia-dunia keilmuan. STP Reinha Larantuka melalui momen wisuda para sarjana pendidikan agama Katolik, hemat saya, hendak pula ‘memproklamirkan’ gagasan interkonektif-integratif tersebut.
Ada satu keyakinan bahwa ilmu-ilmu agama (kalam/teologi, fiqih, dll) akan menjadi hidup dan berdampak berdaya guna-berdaya sapa ketika dibingkai dengan perspektif lain tersebut. Term menjadi hidup-berdaya guna-berdaya sapa dimaksudkan sebagai membuat ilmu-ilmu agama yang dimiliki para wisudawan menjadi terbuka terhadap pelbagai fenomena kehidupan yang serba kompleks di dunia ini dan di hadapan fenomena itu perspektif lain tersebut membantu ilmu-ilmu agama untuk memberikan jawaban-jawaban yang kontekstual dan humanis.
Analisis hermeneutika Khaled Abou Al Fadl membantu menghadirkan agama yang lebih humanis, agama yang tidak otoriter, agama yang tidak memaksakan kehendak otoritatifnya (yang memaksakan kehendak pribadi atas nama kehendak Tuhan/yang mengunci kehendak Tuhan dalam penafsiran-penafsiran individual dan kelompok). Menurut Al Fadl, ketika berhadapan dengan teks-teks suci agama, ketertutupan terhadap proses interpretasi adalah tindakan despotik. Tindakan ini mengacu pada upaya untuk “mengunci” teks tersebut menjadi makna tertentu dan tindakan ini berisiko melanggar integritas penulis dan teks. Bisa terjadi, pembaca mengatakan: “I know what the author means, and I know what the text is saying; my knowledge ought to be conclusive and final/Saya tahu apa maksud penulis, dan saya tahu apa yang teksnya katakan; pengetahuan saya seharusnya bersifat konklusif dan final.” Bagi Al Fadl, pernyataan seperti ini mengasumsikan bahwa pembaca menaruh kuasa atau wewenang dalam dirinya untuk mengakhiri peran penulis dan teksnya yang pada dasarnya memiliki keterbukaan makna. Al Fadl menyebut tindakan semacam ini sebagai otoritarianisme di mana seseorang “mengunci” Kehendak Tuhan, atau kehendak teks, menjadi tekad tertentu, bersifat final dan harus diikuti. Yang terjadi adalah seseorang melebih-lebihkan kuasa atau wewenangnya di atas kuasa Tuhan. Dan, bagi Al Fadl, mengklaim pengetahuan penuh atau sempurna tentang Kehendak Tuhan adalah menantang keunikan dan kesempurnaan Ilahi (“To claim full or perfect knowledge of God’s Will is to challenge the singularity and uniqueness of the Divine perfection”).
Karena itu, Al Fadl menganjurkan agar pembaca mengembangkan pengetahuan tentang Tuhan, bukan melalui indikator tekstual saja, namun juga melalui matriks relasi kompleks yang menjadi jaminan teks. Relasi itu dikembangkan tidak hanya melalui ibadah tetapi juga mengembangkan pemahaman tentang Tuhan dengan merefleksikan ciptaan, atau mengamati pekerjaan Tuhan melalui refleksi sejarah. Berbagai jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan ini terpisah dari indikator teks, namun teks tetap dan selalu dibutuhkan untuk merumuskan keyakinan tentang sifat dan normativitas Ilahi. Dengan kata lain, seorang pembaca harus merefleksikan dan menyelidiki teks lebih jauh. Dan, proses itu membutuhkan keterbukaan dengan ilmu-ilmu lain, “integratif-interkonektif”.
Usaha hermeneutis Al Fadl merupakan sebuah jalan panjang untuk menepis aksi otoritarianisme atau despotisme atas teks-teks suci. Al Fadl hendak memotong usaha pembaca menjadi Tuhan. Bagi Al Fadl, pemindahan otoritas Tuhan ke tangan pembaca adalah tindakan despotisme, dan merupakan sebuah tindakan korupsi logika hukum Islam atau membelokkan maksud sejati instruksi Tuhan menuju maksud dan kepentingan manusiawi. Mengenal, mengetahui, membaca dan memahami konteks seorang penulis dan periwayat teks-teks suci termasuk segala circumstance yang mengitarinya entah yang objektif maupun yang subjektif adalah jalan untuk mengetahui maksud dan makna yang terkandung dalam sebuah teks. Hermeneutika Al Fadl penting bagi orang-orang zaman sekarang agar tidak terjebak dalam radikalisme dan otoritarianisme/despotisme yang kian meluas.
Impian intelektualitas Al Fadl mendapatkan persambungannya dengan Filsafat Proses yang dikembangkan oleh Shahrur. Filsafat proses Muhammad Shahrur membantu menghidupkan agama dari keadaan yang stagnan dan membawa agama untuk membuka diri terhadap sains. Pemikiran dialektis Muhammad Shahrur, menurut saya merupakan sebuah sumbangan yang berharga bagi dunia intelektual dan dunia keilmuan pada umumnya. Gagasannya tentang tiga kondisi poros (being, processing dan becoming) yang digunakan sebagai pisau analisis pemikirannya menjadi ‘horizon baru’ dalam memandang realitas yang dijumpainya. Karya-karyanya merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan hermeneutika qur’anik yang berorientasi pada universalisme hukum Al-qur’an. Shahrur memperjuangkan bahwa penafsiran terhadap fiqih dan hadis dalam Islam merupakan sebuah proses terus-menerus yang menuntut perhatian yang mendalam terhadap konteks ketika penafsiran dilahirkan. Baginya, aktivitas penafsiran itu selalu merangkum sekaligus melibatkan tiga unsur yakni pengarang, teks dan pembaca atau pendengar. Secara lebih spesifik, Shahrur ‘mengharuskan’ agar pembaca atau pendengar wajib menggunakan akal (intelek) dan pengetahuannya terhadap konteks ketika hendak melakukan aktivitas penafsiran teks. Dia bahkan menyarankan agar para intelektual Islam memiliki pendekatan baru yakni pendekatan kritis kolektif yang memasukkan kesadaran dunia (al-wa’yu) dan pengetahuan tentang waktu dan ruang.
Dalam bahasa filsafat proses, dapatlah dikatakan bahwa Shahrur ingin agar peradaban Islam keluar dari kondisi statis: kondisi berada dan berproses tanpa kondisi menjadi. Shahrur berpendapat bahwa peradaban masyarakat Arab di penghujung abad ke-20 adalah peradaban statis yang hanya memiliki dua dimensi (‘kondisi berada’ dan ‘kondisi berproses’, tanpa ‘kondisi menjadi’). Dengan gamblang Shahrur menulis: “Dalam peradaban ini sejarah (waktu) memang berjalan, tetapi “kondisi menjadi” tidak terjadi. Mereka menyampaikan slogan-slogan politis atas nama otoritas Tuhan (hâkimîyat Allah). Mereka juga mengklaim telah meniru Allah dalam hal hukum, meskipun sebenarnya Allah hanya memiliki “kondisi berada” yang absolut, sementara mereka, di samping mempunyai “kondisi berada”, juga memiliki “kondisi berproses” dan “kondisi menjadi”.
Dengan latar pemikirannya yang dialektis, Shahrur kemudian mendekati pembicaraan tentang agama dan kandungannya (Allah, teks-teks suci) dari perspektif ilmu-ilmu teknis dan matematis. Dia memotivasi pembacaan terhadap pembicaraan-pembicaraan itu secara kontemporer. Jika ditilik secara saksama, pemikiran filosofis Shahrur dengan tiga konsep tentang ‘tiga kondisi’-nya merupakan sumbangan berharga bagi dunia keilmuan, tidak hanya untuk konteks ke-Islaman-an melainkan juga untuk ‘yang lainnya’. Pemikirannya boleh dipandang sebagai ‘sebuah gerak maju’ dari situasi stagnatisasi keilmuan dan peradaban kemanusiaan. Gaya berpikir filosofis Shahrur seperti ini memberikan spirit baru bagi ilmu-ilmu agama, manusia dan teknologi.
Para sarjana pendidikan agama dan keagamaan ‘yang barusan dilahirkan’ oleh Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka adalah mereka yang akan bergumul dengan dunia zaman sekarang yang telah menampakkan diri sebagai dunia yang plural dengan pelbagai problem kemanusiaan dan kealam-semestaan. Di hadapan dunia semacam ini, para sarjana akan hadir sebagai pribadi-pribadi ‘high order thingking’ yang sanggup memberikan jawaban-jawaban cemerlang atas soal-soal kemanusiaan dan kealam-semestaan zaman sekarang, tidak hanya dari sudut pandang ilmu-ilmu keagamaan Katolik semata melainkan dengan pelbagai perspektif melalui kajian-kajian atau analisis-analisis berbasis keilmuan.
Di titik ini, para sarjana agama dan keagamaan tidak hadir di tengah masyarakat dengan hanya membawa seperangkat pengetahuan yang didapat di bangku-bangku kuliah melainkan berusaha untuk menghadirkan dirinya sebagai intelektual-intelektual muda yang berwawasan interkonektif-integratif setelah selama sekian tahun mereka berjibaku dengan diktat-diktat perkuliahan. Kini saatnya, mereka akan masuk dan menikmati ‘diktat-diktat kehidupan’ yang sarat dengan sejuta soal. Di hadapan sejuta soal, mereka dituntut untuk ‘memberi aroma kebaikan’ dan ‘menebar jawaban yang mempesonakan jiwa-jiwa’, dan bukan sebaliknya menjadikan diri mereka sebagai ‘soal-soal baru di atas soal-soal lama’.
Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka yang ‘bergulat dengan ilmu-ilmu berbasis keagamaan’ sudah saatnya membangun paradigma baru di atas kesadaran pluralis dengan tidak meninggalkan jati dirinya yang asali: merawat jiwa dan menyelamatkan kemanusiaan dan alam semesta dengan mendialogkannya dengan pelbagai ilmu lain yang relevan. Proficiat dan selamat bermisi bagi para wisudawan.