SEJARAH BERDIRINYA
SEKOLAH TINGGI PASTORAL REINHA LARANTUK
A. Sejarah Pendidikan
Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka menjadi bagian dari karya perutusan suster-suster Congregatio Imitationis Jesus (CIJ). Berawal dari kepedulian Bapak pendiri tarekat, MGR. Hendricus Leven untuk memersiapkan putri-putri pribumi ke dalam sebuah tarekat yang melayani iman umat di wilayah Flores. Empat bidang pelayanan yang menjadi fokus mengabdikan dalam perutusan tarekat, yakni pelayanan pastoral, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Tarekat mendirikan pos pelayanan pertama di Walowaru, Ende pada tahun 1947.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, negara sangat membutuhkan semua pihak untuk bekerjasama menata kehidupan bangsa dari seluruh aspek kehidupan baik jasmani maupun rohani. Karena sejak ditinggalkan oleh kolonialisme jurang antara kemiskinan dan kesejahteraan amat jauh dari harapan. Melalui visi misioner yang kuat karena dibalut oleh spiritualitasnya yang mendalam akan iman kepada Kristus dan kemanusiaan, Mgr. Leven melihat kebutuhan umat dan masyarakat secara substansial. Mengingat kebutuhan umat pada waktu itu akan pelayanan sekaligus panggilan pengabdian tarekat, maka Bapak pendiri memutuskan untuk membuka pos pelayanan komunitas biara yang kedua di wilayah Flores bagian timur di keuskupan Larantuka, yakni di paroki Santo Ignatius Waibalun pada 25 Juni 1952.
MGR. Leven kembali ke rumah induk SVD si Steyl – Belanda karena sakit, namun persiapan pembukaan pos di Waibalun tersebut sudah dibicarakan dengan matang dengan MGR. Antonius Thijssen, SVD. Selanjutnya pendampingan pada perutusan kedua di Waibalun diserahkan kepada Mgr. Antonius Thijssen, SVD bersama dengan Sr. Saxer Hoff, S.SpS dan Sr. Reineldis S.SpS. Sejak awal komunitas CIJ dibuka di Waibalun, suster-suster mengadakan kunjungan ke kampung-kampung dengan sangat giat Di wilayah perutusan ini, konggregasi CIJ melaksanakan karya – karya: pastoral, kesehatan, pendidikan, dan sosial. Dari keempat bidang karya ini, karya kesehatan dan pendidikan mendapat prioritas pendampingan tarekat CIJ.
Di Paroki Santo Ignasius waibalun, suster-suster Tarekat CIJ memrakarsai pendirian TK Nely dan SDK Waibalun I[1]. Dua tahun sesudah pendirian itu, Sr. Petrosa, CIJ mendirikan dan menangani karya pendidikan tingkat SMP (SMP Putri)[2], tahun 1954. SMP Putri berjalan sampai tahun 1979. Pada Tahun 1979 diperbolehkan penanganan kelas campur maka sejak waktu itu SMP Ratu Damai Waibalun mulai menerima murid, baik perempuan maupun laki-laki.
Tahun 1963, CIJ membuka Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Putri[3]. Sebelum dibukanya SPG Putri, sudah ada SPG Putra, milik Yayasan Mardiwiyata, Yayasan milik Frater-frater Bunda Hati Kudus, sehingga CIJ membuka SPG Putri untuk menanggapi kebutuhan kaum perempuan yang hendak menjadi guru. SPG Putri memiliki dua jurusan yaitu Jurusan SD dan TK. Pada masa itu di wilayah Flores Timur belum ada sekolah guru selain di Podor dan Waibalun[4] sehingga para calon guru di seluruh Flores Timur dididik di Podor dan Waibalun.
CIJ menanggapi kebutuhan karya pewartaan pada masa itu dengan mendidik para siswa SPG sebagai calon guru sekaligus juga dipersiapkan menjadi katekis. Mereka diberikan kursus Guru Agama Katolik dan diberikan Sertifikat Kateketik. Tambahan materi ini sangat membantu profesionalisme guru-guru dalam kiprahnya di tengah masyarakat dan Gereja dengan peran ganda sebagai guru sekolah dan katekis di paroki.
SPG Putri ini berjalan sampai menamatkan angkatan terakhir, tahun 1985. Selanjutnya wadah SPG putri ditutup dan diganti dengan sekolah Pendidikan Guru Agama Katolik (PGAK) untuk perempuan dan laki, sedangkan SPG terpusat di Podor[5]. PGAK akhirnya ditutup pada tahun 1990. Dinamika karya pendidikan di Waibalun memacu Pimpinan CIJ untuk berpikir bagaimana pelayanan di daerah ini, menjawab kebutuhan masyarakat dan Gereja pada zamannya.
B. Mengikuti Panggilan Zaman
Pada tanggal 14 – 27 November 1989, diadakan Lokakarya IV tingkat Kongregasi CIJ, bertempat di Aula Biara Pusat CIJ di Potunggo – Ende, dengan pendamping ahli, P. A. Djito Pandrio SJ. Dalam lokakarya tersebut, salah satu pokok yang dibicarakan adalah jalan keluar yang harus ditempuh bagi peningkatan studi para lulusan sekolah Pendidikan Agama Katolik (PGAK) di Waibalun, yang akan ditutup[6], sebagaimana Sekolah Pendidikan Guru (SPG) belum lama lalu. Dalam pembahasan dalam lokakarya tersebut, akhirnya diputuskan, Pemimpin Umum selaku Pembina Yayasan Persekolahan Bina Wirawan (YASBIN) menugaskan Pengurus Yayasan Persekolahan Bina Wirawan untuk mengadakan wadah perguruan tinggi di Waibalun demi mengakomodasi lulusan PGAK dimaksud. Menanggapi tugas tersebut, Sr. Rufina, CIJ bersama stafnya mencari informasi mengenai kemungkinan dibukanya sebuah lembaga pendidikan tinggi tersebut. Maka setelah berkonsultasi dengan Uskup Larantuka, Mgr. Darius Nggawa, SVD, maksud pengadaan wadah pendidikan tinggi tersebut mendapat sambutan positif dari bapa Uskup.
Pada tahun 1990, Mgr. Darius Nggawa, SVD[7] mengeluarkan Surat Tugas, tanggal 29 Oktober 1990, Nomor: KL 404/BG.1/90, perihal: Surat Keputusan. Surat ini ditujukan kepada Sr. Rufina, CIJ selaku Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus YASBIN, Yayasan Pendidikan milik CIJ. Ada pun maksud pengadaan wadah perguruan tinggi pastoral tersebut, pertama-tama adalah untuk mengakomodasi lulusan PGAK yang ditutup pada tahun 1990. Tujuan kedua adalah mengakomodasi siapa saja yang hendak berkarya sebagai seorang guru Agama Katolik dan tenaga pastoral.
Berdasarkan surat tugas dari Uskup Darius Nggawa, SVD tersebut, Sr. Rufina, CIJ bersama Sr. Johanista Werang, CIJ melewati waktu satu bulan di Jakarta untuk berkonsultasi dengan pihak BIMAS Katolik Kementrian Agama RI. Permohonan izin yang diperjuangkan suster berdua adalah supaya dapat berafiliasi dengan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang. Dalam tahun yang sama, Dirjen Bimas Katolik memberi rekomendasi kepada Direktur IPI Malang dengan Surat Izin nomor: G/PP.03.3/626/1991 agar dikeluarkan Surat Keputusan afiliasi tersebut oleh Rektor IPI malang. Maka P. Janssen, CM., selaku Rektor IPI Malang ketika itu, mengeluarkan SK kepada Sr. Rufina, CIJ selaku Sekretaris Eksekutif Badan Pengurus YASBIN dengan Nomor: MLG-01-15/SK-DIP/TPI/VI/1991, tentang Pembukaan Filial Program Diploma Dua dan Dimploma Tiga (D2/D3) Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik di Sekolah pada Fakultas Ilmu Kateketik Institut Pastoral Indonesia di Larantuka – NTT. Selanjutnya Yayasan Bina Wirawan mengelola Program Studi tersebut dengan nomenklatur, “Program Studi Diploma Kateketik Filial IPI Malang”. Maka sejak Tahun Akademik 1991/1992, dimulailah perkuliahan dengan jenjang Diploma Dua/Tiga Kateketik. Program Studi ini berkiprah hingga tahun 2010. Pemimpin program studi ini disebut Ketua Program. Ada pun Ketua Program pertama adalah Sr. Joanista Werang, CIJ., seorang anak tanah Lewolere –Paroki St. Ignatius Waibalun.
C. Legalitas Pendidikan Tinggi
Berhadapan dengan tuntutan pemerintah dalam Undang-Undang mengenai Guru dan Dosen, berpendidikan sekurang-kurangnya S-1, maka pihak CIJ berjuang membangun komunikasi tertulis dan membuat pendekatan dengan pihak BIMAS Katolik Kementrian RI untuk mendapatkan izin peningkatan ke jenjang Strata Satu. Untuk mengukuhkan perjuangan para suter dan rekan-rekan sekerja dalam lingkup Diploma Kateketik di Waibalun, Dewan Pembina YASBIN dalam diri Pimpinan Umum CIJ mengadakan rapat untuk membahas persoalan ini dan menghasilkan keputusan, yakni menegaskan pimpinan Diploma Kateketik di Waibalun supaya usaha untuk proses peningkatan ke jenjang S-1 harus dilakukan dengan serius karena sudah waktunya jenjang Diploma tidak memenuhi persyaratan lagi untuk menjadi guru. Penegasan tersebut didorong oleh rasa tanggung jawab moril sebagai pihak yang menamatkan lulusan. Pemikiran Dewan Pembina mengenai pendidikan tinggi ketika itu berbarengan dengan pemikiran mengenai persiapan proses pengadaan lembaga pendidikan tinggi umum, Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL)[8].
Sebagai syarat pendirian perguruan tinggi, harus didirikan terlebih dahulu sebuah Yayasan Perguruan Tinggi, maka Pembina Yayasan memutuskan untuk mendirikan yayasan perguruan tinggi dan mengeluarkan SK pengangkatan perangkat kepengurusannya, yang selanjutnya tercantum dalam akta yayasan. Yayasan tersebut diberi nama Yayasan Perguruan Tinggi Henricus Leven, disingkat YAPERTHEL[9].
Satu hal yang perlu dicatat dalan lembaran sejarah ini yaitu, lantaran terlalu lama menunggu jawabab positif dari pihak BIMAS Katolik Kementrian Agama RI mengenai peningkatan ke jenjang S-1, maka demi menjawab desakan kebutuhan masyarakat terhadap tuntutan pemerintah dalam Undang-Undang untuk Guru dan Dosen tahun 2003, maka sebelum mencapai sebuah Sekolah Tinggi mandiri (tanpa berafiliasi dengan IPI Malang), Tahun Akademik 2007/2008, masa Pimpina D-3 Kateketik, Benedikta Yosefina Kebingin (Sr. Ivonny Kebingin, CIJ), mahasiswa lulusan Diploma Kateketik sempat diwadahkan jenjang S-1 intern IPI Malang di Waibalun. Program S-1 tersebut menghasilkan empat puluh lulusan yang diwisuda pada Agustus 2010, satu bulan sebelum dikeluarkan Izin Operasional STP Reinha Larantuka.
D. Yuridiksi Pendirian STP Reinha Larantuka
Sebagai persiapan yang harus dilakukan sebagaimana sebuah perguruan tinggi baru yang akan didirikan, Pengurus YAPERTHEL bersama Pimpinan Program D-3 Kateketik bekerja memersiapkan apa yang diperlukan. Ketika tiba waktunya divisitasi, bapak Drs. Natanael Sesa, M.Si., datang ke Waibalun bersama tim visitator. Sebelum visitasi dilangsungkan, Kasubdin Pendidikan Tinggi, dalam salah satu ruang kelas Diploma Kateketik, beliau memberi pengarahan sehubungan dengan proses perolehan izin operasional. Beliau menegaskan bahwa perguruan tinggi harus didirikan oleh sebuah Yayasan Perguruan Tinggi, bukan Yayasan Persekolahan[10]. Maka dengan diserahkan ke tangan Kasubdin Pendidikan Tinggi dokumen berupa surat pengesahan akta YAPERTHEL yang telah ditandatangani oleh Menteri Kementrian Hukum dan HAM, maka Kasubdin Pendidikan Tiggi yakin mengenai keabsahan yayasan perguruan tinggi tersebut.
Setelah visitasi dilaksanakan, berbagai catatan diberikan untuk pekerjaan pembenahan sebelum perizinan operasional diberikan. Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka akhirnya didirikan dengan surat pengajuan dari pihak Yayasan Perguruan Tinggi Henricus Leven kepada Uskup Keuskupan Larantuka perihal permohonan pendirian Sekolah Tinggi Pastoral. Sebagai tanggapan atas surat tersebut, Uskup Larantuka[11], Fransiskus Kopong Kung, Pr., mengajukan permohonan kepada Dirijen Bimas Katolik tertanggal 20 Juli 2010, Nomor: KL. 259/VIII.11/VII/2010, perihal Permohonan Pembukaan Sekolah Tinggi Pastoral di Keuskupan Larantuka. Surat Uskup tersebut ditanggapi dengan Surat Izin Operasional dari Dirjen Bimas Katolik Kementrian Agama RI tanggal 20 September 2010, Nomor Dj.IV/HK.005/170/210.
STP Reinha Larantuka didirikan oleh Yayasan milik CIJ dengan nama: Yayasan Perguruan Tinggi Henricus Leven[12] (YAPERTHEL), dengan Akte Yayasan Nomor 51, tanggal 30 April tahun 2010 dan pengesahan dari Kementrian Hukum dan Hak-hak Azasi Manusia Nomor: AHU.2847.AH.01.04 tahun 2010.
Sebagai kenangan syukur lima abad Tuan Ma, maka nama yang disandangkan pada sekolah tinggi ini adalah Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka, disingkat STP Reinha Larantuka. CIJ bersama seluruh masyarakat dan umat Allah Keuskupan Larantuka menyambut gembira momentum perizinan ini sebagai hadiah berharga dari Bunda Reinha Larantuka. Akhirnya, terhitung semenjak berdirinya Diploma Kateketik Filial IPI Malang, jenjang strata satu baru terealisasi melalui STP Reinha Larantuka, didirikan setelah berjalan dua puluh tahun kemudian. Selama pengelolaan Diploma Kateketik, Program Studi ini telah dipimpin oleh empat orang Ketua Program, yaitu Sr. Joanista Werang, CIJ; Sr. Ambrosia CIJ; Sr. Ignatio Nudek, CIJ; Sr. Ivonny Kebingin, CIJ: dan Sr. Epifani Krowin, CIJ.
Tanggal 08 Oktober 2010, dilangsungkan perayaan Ekaristi syukur, bertempat di pelataran STP Reinha Larantuka, dipimpin oleh Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr. Pada perayaan Ekaristi tersebut hadir Drjen Bimas Katolik Kementrian Agama RI bersama staf; hadir pula Rektor IPI Malang, Drs. Intan Sakti Pius X., M.Th. Setelah perayaann Ekaristi adalah momen, dilakukan penyerahan surat Izin Operasional dari Dirjen Bimas Katolik Kementrian Agama RI ke tangan Pemimpin Umum CIJ, selaku Ketua Pembina YAPERTHEL. Dalam momentum tersebut secara resmi dilakukan pemutusan hubungan kerja sama antara IPI Malang dengan Yayasan Persekolahan Bina Wirawan dalam hal pengelolaan Program Studi Diploma Kateketik yang menginduk ke IPI Malang. Dengan diputusnya hubungan kerja tersebut, seluruh mahasiswa yang ada pada waktu itu dialihkan menjadi mahasiswa STP Reinha Larantuka. Berita Acara peristiwa penyerahan tersebut ditandatangani oleh Rektor IPI Malang, Drs. Intan Sakti Pius X., M.Th., dan Ketua STP Reinha Larantuka, Kristina Keneka Bewa, S.Pd., Lic. Fil. Saksi-saksi atas penandatanganan Berita Acara tersebut adalah Dirjen Bimas Katolik Kementrian Agama RI, Antonius Semara Duran, S.Sos., dan Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr. Dengan demikian sejak waktu itu berakhirlah sejarah kiprah Program Studi Kateketik Filial IPI Malang di Waibalun – Larantuka, dan berdirilah STP Reinha Larantuka.
Ada pun STP Reinha Larantuka berdiri sebagai sebuah lembaga yang samasekali baru; bukan merupakan peningkatan dari jenjang Diploma ke jenjang Strata Satu melainkan sebuah Sekolah Tinggi yang berdiri sendiri, di bawah YAPERTHEL. Meskipun Izin Operasional dikeluarkan pada 20 September 2010 namun Dies Natalis STP Reinha Larantuka dirayakan pada 7 Oktober, sebagai kenangan dan penghormatan kepada Bunda Maria, Renya. Senada dengan itu, dirumuskan motto STP Reinha Larantuka: “Per Mariam Veritatem Facientes in Caritate” (Bdk. Ef 4: 15), yang artinya bersama Maria kita memerjuangkan kebenaran di dalam kasih. Motto ini diambil dari hampir seluruh rumusan motto tahbisan Uskup, Mgr. Darius Nggawa, SVD., “Veritatem Facientes in Caritate” untuk mengenang beliau sebagai Uskup yang terlibat pada awal berdirinya Diploma Kateketik Filial IPI Malang, dan pendirian sekolah PGAK, sebelum itu.
[1] Karena tarekat CIJ belum memiliki Yayasan, sehingga Yayasan Persekolahan Katolik Flores Timur (YAPERSUKTIM) memayungi pendirian TK Nely dan SDK Waibalun I. Kemudian seiring perjalanan waktu, kedua sekolah tersebut menjadi milik Keuskupan Larantuka.
[2] Ketika itu sudah ada SMP putra, milik Keuskupan Larantuka yaitu SMP Pancratio yang terletak di kota Larantuka – Paroki Katedral.
[3] SPG putri dikepalai oleh Sr. Antonella Benedictus, CIJ. (kakak dari Sr. Hilaria Benediktus, CIJ). Murid pada awal SPG putri dibuka berjumlah 15 orang, di antaranya enam kandidat PRR dan empat kandidat CIJ.
[4] Podor berjarak 500 meter dari Waibalun
[5] Pada masa itu berlaku pemisahan antara murid putra dan putri, maka SPG putra dikelola oleh Frter-frater BHK sedangkan suster-suster CIJ membuka SPG putri di Waibalun tahun 1985.
[6] Ketika itu PGAK sedang menyiapkan lulusan angkatan terakhir. Dan sedang dirancang pendirian SMA “Yohanes Paulus II” menggantikan PGAK, setelah ditutup.
[7] Mgr. Darius Nggawa, SVD yang mengeluarkan Surat Tugas pemrosesan pendirian Diploma Kateketik karena pada masa itu beliau menjabat sebagai Uskup Keuskupan Larantuka. Salah satu syarat pengelolaan Diploma Kateketik (juga semua perguruan tinggi teologi, pastoral) harus dengan rekomendasi Uskup setempat, sebagai Magisterium Gereja Lokal yang bertanggung jawab atas pengajaran iman yang benar. Hal yang sama ditegaskan oleh Kasubdin Pendidikan Tinggi, Drs. Natanael Sesa, M.Si, Juli 2010, ketika memberi pengarahan pada kesempatan acara pembukaan kegiatan visitasi persiapan proses perizinan pendirian STP Reinha Larantuka oleh tim dari BIMAS Katolik Kementrian Agama RI.
[8] IKTL dan STP Reinha Larantuka diproses pendiriannya bersamaan, mulai tahun 2009, namun IKTL mendapat Izin Operasional baru pada tahun 2013; tiga tahun setelah STP memeroleh Izin Operasional.
[9] Nama yayasan tersebut dengan maksud untuk mengenang Pendiri CIJ, Mgr. Henricus Leven, SVD.
[10] Sebelumnya, Program Studi Diploma Kateketik, dikelola oleh Yayasan Persekolahan Bina Wirawan.
[11]Sebagaimana dicatat sebelumnya bahwa ketentuan mendasar sebuah Sekolah Tinggi Pastoral didirikan, jika ada permohonan dari uskup setempat karena Uskup berkewenang sebagai penjaga ajaran iman yang benar di sebuah Sekolah Tinggi Pastoral.
[12] Henricus Leven (SVD) adalah Vikaris dan Uskup Kepulauan Sunda Kecil tahun 1933 – 1952. Beliau mendirikan CIJ pada 25 Maret 1035 dengan Dekrit Pendirian, 15 Maret 1933. Beliau juga yang menahbiskan dua imam pribumi pertama NTT yaitu Gabriel Manek, SVD dan Karolus Kale Bale, SVD, di gereja Nita.